sorakan / isakan

sorakan / isakan

Aku tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

Belum sempat kucerna.

Semua seakan saling bahu-membahu memenuhi pikiranku.

Satu goresan seakan tak puas.

Goresan demi goresan praduga tersebut tak henti-hentinya muncul.

Satu demi satu, melebihi kadarnya.

Ukiran-ukiran pertanyaan yang melimpah itu pun hinggap dengan manis.

Merasa nyaman, hingga melekatkan dirinya lebih lagi.

Lelah, lelah rasanya terus hidup diiringi olehnya.

Haruskah kutinggalkan mereka?

Memang bisa?

Tidak. Tentu tidak.

Lalu, sampai kapankah mereka saling berebut tempat untuk menguasaiku?

Sampai semua itu kutemukan.

Jawaban dari semua skenario praduga yang tersusun dan beralur rapi.

Pembuktian.

Atas segala yang telah membuatku terluka.

Atas segala hal-hal yang menjadikannya semakin nyata.

Entahlah.

Saat waktunya tiba nanti.

Hanya ada dua kemungkinan.

Sorakan.

Atau.

Isakan.

sulitnya menjadi remaja

sulitnya menjadi remaja

Hmm, nggak bisa dibilang dewasa, tapi nggak bisa juga dibilang anak-anak.

Iya, itulah yang disebut dengan remaja.

“Apa sih remaja itu?”

Hmm, rata-rata orang juga udah tau sih jawaban dari pertanyaan di atas. Tapi, disini aku mau jelasin tentang arti remaja bagiku.

Buat aku, remaja itu adalah sebuah proses peralihan manusia dari masa anak-anak menuju masa dewasa.

Jadi remaja itu ga gampang loh..

Di masa remaja, aku ngelewatin banyak tantangan dan perubahan. Pubertas, perubahan emosional, dan perubahan psikologi. Itulah yang aku hadapi sebagai remaja dalam proses menuju kedewasaan diriku.

Di masa remaja ini, aku lebih bisa mengenal diriku sendiri. Dari hal-hal yang paling simple; seperti mengenal makanan apa yang aku suka, cara berpakaian yang nyaman, model rambut yang cocok, sampai ke hal-hal yang lebih kompleks, seperti membuat atau menentukan suatu keputusan, serta memilih cara atau jalan keluar dalam menghadapi sebuah masalah.

“Apa sih kesulitan terbesar yang dihadapi seorang remaja?”

Aku, sebagai remaja berusia 15 tahun menganggap bahwa kesulitan terbesar yang dihadapi seorang remaja itu adalah proses penerimaan terhadap dirinya sendiri, juga lingkungan; seperti berdamai dan menerima kekurangan diri, menerima segala emosi atau perasaan yang muncul, menerima tanggapan atau respon lingkungan yang nggak sesuai dengan yang diharapkan, serta menerima segala tekanan atau masalah yang dihadapi.

Naah, setelah proses penerimaan diri dan lingkungan itu berhasil dilakukan, aku juga perlu untuk merancang masa depanku. Sulit memang, namun tetap harus aku jalani, sedikit demi sedikit.

“Merancang masa depan”. Terdengar berat dan sulit dilakukan ya?. Hmm, tapi, nyatanya nggak seseram itu kok. Buat aku, merancang masa depan itu bisa dilakukan dari langkah-langkah yang paling mudah dan realistis untuk dilakukan.

Pertama, dengan melakukan kegiatan positif atau hobi, seperti mendengarkan lagu, menulis, melakukan aktifitas olahraga, menggambar, nyemil, menyanyi, menari, berjalan santai, dan sebagainya.

Kedua, dengan menanamkan sugesti positif terhadap diri sendiri, seperti “aku berarti”, “aku pasti bisa melakukannya”, “aku pasti bisa melewatinya”, “aku pantas dicintai”, dan lain sebagainya.

Ketiga, dengan mengelilingi diri dengan orang-orang yang membuat kita merasa berarti, dicintai, dan bisa memunculkan/menampilkan sisi-sisi diri atau citra diri kita secara bebas dan nyaman, tanpa tuntutan serta ejekan.

“Lantas, apa sih yang remaja butuhkan?”

Menurutku, yang diperlukan oleh seorang remaja adalah sebuah ruang. Ruang untuk menampilkan diri secara bebas, nyaman, dan aman. Hal lain yang dibutuhkan oleh seorang remaja ialah dukungan dan apresiasi.

Jadi, remaja itu merupakan proses menarik yang harus setiap orang lewati dengan bijak, berani, tangguh, serta tanpa menyia-nyiakannya, karena proses remaja hanya dapat dialami sekali dalam hidup. Dan kelak, mungkin kita akan merindukan masa-masa remaja yang sering kita anggap sulit dan “menyebalkan” ini xixixi.

sesak.

sesak.

Aku menatap apa yang ada di hadapanku dengan tatapan yang sulit diartikan, ditemani dengan rambatan rasa sakit di dadaku.

Sesak.

Seperti ada sesuatu yang menekan dadaku. Pelan memang, namun bisa kurasakan.

Entah. Entah kata apa yang bisa melukiskan keadaanku saat ini.

Sebuah perang besar terjadi dalam benakku, seakan saling bertengkar untuk menguasai pikiranku sepenuhnya.

Tak tahu perasaan apa lagi yang muncul kali ini.

Aku tak bisa merasakan apa-apa, terkecuali rasa sakit yang semakin lama semakin dapat kurasa.

Pikiranku yang liar ini terus menggoreskan rasa sakit yang lebih lagi, membuat aku semakin tak berdaya.

kacau

kacau

Aku heran dengan segala perasaan yang kurasakan saat ini. Sulit untuk mendeskripsikan semua rasa itu. Yang pasti, aku muak untuk merasakannya. Aku tahu, semua rasa ini merupakan rasa yang wajar untuk kurasa, atau mungkin harus kurasa sebagai proses menuju pendewasaan diriku. Entah dirikulah yang terlalu lemah atau gampang menyerah, tapi kalau boleh jujur aku sungguh lelah, sungguh-sungguh lelah untuk terus bertahan hidup dengan segala perasaan ini.

Perasaan tak dicintai, perasaan tak berharga, perasaan sedih, perasaan kosong, perasaan benci, perasaan iri, perasaan kecewa, perasaan kesepian, dan perasaan bimbang beraduk menjadi satu, bekerja sama dengan sangat baik untuk menguasai diriku sepenuhnya.

KACAU.

Mungkin kata itulah yang dapat menjelaskan kondisi diriku saat ini. Iya, kacau. Benar-benar kacau.

Entahlah, mungkin di mata semua orang aku baik-baik saja, bahkan mungkin orang lain menganggap kondisiku amat jauh dari kacau.

Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Sulit rasanya mencurahkan emosiku di depan orang lain. Satu sisi dalam diriku berkata, bahwa aku harus mencurahkannya agar orang lain mengerti apa yang kurasakan. Namun sisi lain dalam diriku berkata, bahwa aku tak seharusnya membuat orang mengerti tentang apa yang kurasa, karena aku tak berguna dan tak pantas bagi siapapun, untuk apa membuat orang lain mengerti tentang yang kurasakan? Takkan ada yang memedulikanku. Rasanya seperti ada larangan di dalam diriku yang melarangku untuk mengeluarkan emosiku yang sebenarnya karena takut kecewa atas tanggapan orang lain yang tidak seperti yang kubayangkan dan yang kuharapkan.

Aku lelah untuk menutupi dan memendam semua perasaan ini. Aku lelah untuk terus mengulas senyumku dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja pada semua orang.

Tak ada yang tahu bahwa secara mental aku terluka, bahwa sebenarnya aku sedang bergelut dengan semua perasaan kacau ini.

Aku menghidupi hidupku hanya dengan keterpaksaan, tanpa tujuan dan tanpa arah. Entah sampai kapan aku tersiksa berada disini. Entah siapa yang akan mengakhiri hidupku ini dan membawaku ke dunia yang selanjutnya, yang mungkin lebih buruk dan menyiksa dibanding dunia yang kutinggali kini. Akankah Tuhan yang merenggut nyawaku? Atau bahkan diriku sendiri? Diriku, seseorang yang merupakan ketakutan terbesarku saat ini. Entahlah, yang pasti aku sudah tak sanggup untuk bertahan lebih lama lagi:)

loneliness and emptiness

loneliness and emptiness

Aku hanya bisa berharap bahwa semua ini cepat berlalu. Rasa kesepianku, yang selalu menghantui diriku, yang semakin hari semakin besar dan mengambil alih diriku sepenuhnya.

Semua berawal dari rasa kesepianku. Hingga aku memilih untuk menghancurkan diriku.

Mindset ku berkata demikian,

“Tak ada seorang pun yang memedulikanmu, maka untuk apa kau pedulikan dirimu sendiri?”

“Kamu telah menghancurkan segalanya, sebagai hukumannya, kamu harus terluka,”

***

Di sisi lain, pikiran kosong juga selalu menghantui diriku.

Sometimes I get so far into my head that I forget anything else exists. Yep, overthinking leads to negative thoughts.

Aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk tidak membiarkan pikiranku kosong. Karna setiap pikiranku kosong, aku selalu memikirkan banyak hal, yang pastinya berujung dengan rencana gila.

Aku telah berusaha untuk menyibukkan diri dalam melakukan berbagai aktifitas, namun selalu saja ada kesempatan pikiran-pikiran itu masuk ke dalam otakku. Seakan “mereka” saling berebut tempat untuk memenuhi pikiranku.

***

Hmm, rasa kesepian dan pikiran kosong memang sudah bersahabat karib dalam diriku sejak dulu. Mereka berdua takkan pernah bisa terpisahkan dan selalu dapat membuatku perlahan menyerah, menyerah untuk menghadapi hari esok.

I just want u to understand me..

I just want u to understand me..

Tak ada seorang pun yang mengerti diriku.

Mereka selalu menganggap enteng semua situasi yang aku hadapi.

Sebagian dari mereka bilang, bahwa aku tidak dapat mentolerir kondisi/situasi ini.

Sebagian dari mereka juga menganggap aku merupakan orang yang haus akan perhatian.

Mungkin mereka semua benar.

Tapi, coba tutup mulutmu sejenak dan pasang telingamu, dengarkanlah apa yang ingin kusampaikan dan apa yang kurasa sebenarnya.

Aku hanya ingin dimengerti, meski aku yakin tak ada yang ingin mencoba untuk mengerti diriku. Tak apa. Aku tak berhak memintamu untuk mengerti diriku, karena sejujurnya aku pun tak mengerti apa yang kumau. Hmm, ralat, yang kumau hanyalah untuk dimengerti…

topeng & benteng..

topeng & benteng..

Aku berbeda.

Aku berbeda denganmu. Iya, kamu, kamu yang sedang membaca tulisanku ini.

Mungkin, kau bertanya-tanya, mengapa aku menjauh darimu. Baiklah, silahkan baca tulisan ini jika kau mau tahu alasannya.

Tapi, kurasa, kamu sudah bisa menyimpulkannya, dari kalimat pertama tulisan ini.

Aku berbeda.

Aku tahu, kau mungkin bertanya-tanya, mengapa aku menganggap diriku berbeda denganmu.

Aku pun tahu, bahwa kita sama-sama manusia, sama-sama makan nasi. Tapi apa perlu kutegaskan sekali lagi? Bahwa kita berbeda.

Aku jelek. Aku tak pandai bergaul. Aku tak bisa membuat orang lain bangga terhadapku. Aku tak berbakat. Aku tak bisa menjalani hidupku dengan baik. Aku bersifat merugikan orang lain. Aku selalu menghancuri segalanya. Aku hidup di dunia ini tanpa kontribusi lain, selain menghabiskan tempat dan menyusahkan orang lain.

Sudahkah kau paham, bahwa aku berbeda?

Maka dari itu, aku memilih untuk menjauh darimu. Aku hanya tak ingin kau melihat diriku sebagaimana diriku melihat diriku yang sebenarnya. (Stttt… kau tahu? Selama ini aku membohongi semua orang, termasuk kamu)

Aku memang membohongimu. Maaf untuk itu. Iya, maaf. Maaf karna telah membohongi dirimu dengan sikapku, karena selama ini aku telah memasang topeng perlindungan diriku di depan kalian semua. Sejujurnya, aku hanya berpura-pura untuk terlihat dan dianggap baik olehmu, makanya aku buat topeng itu sedemi kian rupa baiknya, agar kau tak melihat siapa diriku sebenarnya.

Jangan kepingin lihat diriku yang sebenarnya, karna pasti kau kecewa. Aku tak ingin kamu kecewa terhadapku, makanya aku menutup-nutupi keburukanku dengan topeng yang kubilang tadi.

Kau tahu? Bahwa dibalik topeng yang kubuat, sebenarnya aku terluka. Aku berusaha membuat topeng itu sebaik mungkin, namun tanpa aku sadari bahwa sebaik-baiknya topeng yang kubuat, kau pasti melihat betapa buruknya aku. Iya, aku memang sudah gagal. Maka dari itu, kali ini aku membeberkannya, karena aku sudah lelah untuk membohongi dirimu.

Tapi tenang, sekarang topeng perlindunganku telah berubah menjadi benteng perlindungan. Aku membangun benteng perlindungan bagi diriku sekokoh mungkin, agar kau tak bisa meraihku. Ya, dengan tujuan menjauh darimu, aku pun membangun benteng itu. Sebenarnya, alasanku membangun benteng itu karna aku sudah lelah dikecewakan olehmu, juga lelah mengecewakanmu.

Jadi, aku harap, dengan terbangunnya benteng ini, akan menguntungkan segala pihak. Kamu yang tak perlu lagi dibuat pusing olehku, dan aku yang tak perlu merasakan luka karena dikecewakanmu.

Sudah mulai paham?

Ku harap kau senang dengan terbangunnya benteng ini:)

am I a failure..?

am I a failure..?

Tak ada yang bersifat selamanya.

Pada akhirnya, semua orang pun pergi.

Dan tinggallah aku seorang diri.

Tak apa, aku sudah terbiasa dengan ini:)

Aku tahu, pada dasarnya aku memang sebuah kesalahan.

Aku pun sadar diri, bahwa aku hanya pembuat masalah, yang membuat runyam segalanya, hmm, tak perlu berbohong di depanku, aku yakin di lubuk hatimu kau pasti mengiyakan hal ini.

Aku lelah, atas semua drama yang tercipta. Entah, mungkin memang benar apa katamu, bahwa aku tak dapat menerima masalah/ situasi sulit ini, atau mungkin aku hanya melebih-lebihkan segalanya. Tapi cobalah posisikan dirimu di posisiku, aku hanya bingung, bingung harus melakukan apa. Pada dasarnya aku hanya ingin dimengerti, meski aku tahu sampai kapanpun takkan ada yang mengerti perasaanku.

Rasanya seperti semua yang kulakukan salah di mata semua orang. Padahal, aku sudah berusaha sebisa mungkin membuat kalian senang, juga meninggalkan kesan positif terhadapku. Namun, aku sadar, bahwa sekeras-kerasnya aku mencoba, hasilnya akan nihil, karena memang aku merupakan sebuah kesalahan.

“Lelah”

“Lelah”

“Lelah”

Kata itu terlontar dari mulutku untuk yang ke sekian kalinya.

Jika kau bertanya-tanya tentang perasaanku, bacalah ulang kata pertama dalam tulisanku ini.

Kata itu cukup dapat mewakili perasaanku.

***

Aku lelah akan kehidupan. Kehidupan yang seharusnya kusyukuri atas pemberianNya.

Aku lelah akan dunia. Dunia dimana aku dilahirkan.

Aku lelah akan takdir. Takdir yang membuatku merasakan penderitaan.

Aku lelah akan diriku sendiri. Diriku yang merupakan kesalahan.

***

Permintaanku hanya satu; aku ingin mengakhiri hidupku. Saat ini juga.

Mengapa aku harus hidup dengan keterpaksaan?

Lebih baik aku memberikan sisa hidupku kepada orang lain yang lebih pantas untuk menerimanya.

Aku selalu bertanya kepadaNya, mengapa aku masih diberikan kesempatan untuk hidup? Toh, aku hanya merupakan penghancur segalanya, yang merugikan segala pihak.

Aku sadar diri, bahwa aku memang tidak selalu lebih baik dari orang lain. Aku memang selalu menyusahkan orang lain, maka dari itu, bagaimana aku bisa berguna bagi orang lain?